
Saat notifikasi email tentang kelolosan ballot Borobudur Marathon 2024 muncul di layar ponsel, jantung saya berdegup kencang. Rasa senang bercampur gugup menyelimuti pikiran. Event lari ini bukan sekadar lomba, tetapi sebuah pencapaian yang menjadi dambaan banyak pelari di Indonesia. Terakhir diketahui bahwa dari 44.000 pendaftar hanya 10.500 orang yang dinyatakan lolos dan saya berada diantara ribuan peserta tersebut. Sebagai salah satu ajang lari yang tidak hanya menawarkan tantangan fisik tetapi juga pengalaman budaya, Borobudur Marathon memiliki daya tarik tersendiri. Dengan penuh antusias, saya menerima tantangan ini dan memulai perjalanan yang penuh makna selama 14 minggu menuju hari H.
Minggu-Minggu Awal: Menyusun Langkah Menuju Garis Start
Setelah memastikan diri lolos ballot, saya segera menyusun rencana latihan. Saya memutuskan untuk mengikuti program 14 minggu yang dirancang khusus untuk half marathon, mencakup variasi latihan seperti long run, tempo run, interval training, diselingi dengan Strenght Training dan sesi pemulihan. Di minggu-minggu awal, fokus utama adalah membangun fondasi, memastikan tubuh saya terbiasa dengan rutinitas lari yang konsisten.
Setiap Senin menjadi hari pemulihan aktif, biasanya diisi dengan jalan santai atau MAF training untuk mengurangi tekanan berlebih pada tubuh . Selasa dan Rabu dikhususkan untuk latihan tempo dan easy run, melatih tubuh agar nyaman berlari dalam kecepatan stabil, hari Kamis dan Sabtu untuk Strenght Training Latihan kekuatan tubuh bagian bawah (squat, lunges, calf raises) dan Fokus pada core (plank, side plank, glute bridges). Sementara itu, Minggu adalah hari favorit saya untuk long run, di mana saya mengeksplorasi rute baru sambil membangun daya tahan tubuh.
Namun, latihan ini tidak selalu mudah. Dibutuhkan effort yang tinggi untuk menyelesaikan setiap menu latihan, terkadang tubuh saya mulai terasa lelah, dan beberapa kali saya tergoda untuk melewatkan sesi latihan. Tapi saya selalu mengingat tujuan besar ini: menyelesaikan Borobudur Marathon 21 km dengan kondisi terbaik. Dukungan dari teman-teman di komunitas lari lokal juga menjadi dorongan moral yang luar biasa.
Meningkatkan Intensitas: Ujian Ketahanan Fisik dan Mental
Memasuki minggu ke-8, intensitas latihan meningkat. Long run mulai mencapai jarak 16-17 kilometer, dan sesi interval menjadi lebih menantang dengan kecepatan yang lebih tinggi. Saya menyadari pentingnya manajemen energi dan nutrisi, terutama ketika jarak latihan semakin panjang.
Setiap pagi sebelum latihan panjang, saya mengonsumsi makanan yang kaya karbohidrat kompleks, seperti oatmeal dengan pisang, untuk memastikan tubuh memiliki cukup bahan bakar. Setelah latihan, protein shake dan makanan kaya nutrisi menjadi pilihan untuk mempercepat pemulihan otot.
Minggu-minggu ini juga penuh dengan pelajaran tentang mendengarkan tubuh. Suatu hari, saya merasa nyeri di lutut kiri setelah sesi interval. Alih-alih memaksakan diri, saya memutuskan untuk beristirahat sehari ekstra dan mengganti sesi lari dengan berenang ringan. Pendekatan ini membantu saya mencegah cedera yang bisa mengganggu latihan selanjutnya.
Hari-Hari Terakhir Sebelum Lomba: Mengasah Kepercayaan Diri
Dua minggu terakhir sebelum hari H adalah masa tapering, di mana volume latihan dikurangi untuk memberi waktu tubuh beristirahat dan mencapai kondisi puncak. Di masa ini, saya fokus pada pemantapan mental dan logistik lomba.
Saya mengecek perlengkapan berlari, mulai dari sepatu, pakaian, hingga gel energi yang akan saya bawa selama lomba. Selain itu, saya mulai melihat-lihat rute Borobudur Marathon dari media sosial official, terutama bagian tanjakan cinta di kilometer ke-17 yang terkenal menantang.
Di malam sebelum lomba, saya tidur lebih awal meskipun rasa gugup sempat mengganggu. Saya memastikan tubuh terhidrasi dengan baik dan mengonsumsi makan malam yang ringan namun bernutrisi, seperti roti gandum dengan sayuran segelas susu oat dan dada ayam.
Hari H: Saat Semua Usaha Terbayar
Pagi di Magelang terasa magis. Suara gamelan menyambut ribuan pelari di area start. Udara sejuk dan suasana semangat membuat saya merasa siap menghadapi tantangan ini. Setelah pemanasan ringan, saya berdiri di zona start, merasakan adrenalin mengalir.
Ketika lomba dimulai, saya memulai langkah dengan tenang. Kilometer pertama hingga kelima adalah momen untuk menemukan ritme.
Suasana di sepanjang rute sangat menyenangkan, dengan pemandangan pedesaan yang asri dan warga lokal yang memberikan semangat. Mereka berbaris di tepi jalan, membawa spanduk, dan menyanyikan yel-yel khas Jawa Tengah, Anak-anak berlari kecil di sisi jalan, menyodorkan tangan mereka untuk tos, memberikan energi tambahan yang luar biasa.
Memasuki kilometer ke-10, tubuh saya mulai merasakan kelelahan ringan, tetapi semangat tidak surut. Saya mengingat semua latihan panjang yang telah saya jalani, membayangkan rute-rute yang berhasil saya taklukkan selama persiapan. Gel energi pertama saya konsumsi di kilometer ke-12, memastikan tubuh tetap memiliki bahan bakar untuk melanjutkan perjalanan. Hidrasi dilakukan sejak 5 km dan setiap 2,5 km ws sangat melimpah disajikan.
Tantangan di Kilometer ke-17: Tanjakan Cinta
Kilometer ke-17 menjadi momen yang paling menguji mental saya. Tanjakan cinta yang curam dan panjang tampak seperti tembok yang harus ditaklukkan. Nafas mulai terasa berat, dan otot kaki berteriak meminta istirahat. Namun, di sinilah keajaiban Borobudur Marathon terasa.
Kesiapan panitia mempersiapkan nutrisi sebelum menaiki tanjakan patut diacungi jempol, berbagai macam suguhan mulai dari aneka ragam buah, minuman isotonik dan energy gel siap dikonsumsi selain itu tim medis yang siap membantu peserta yang mulai kelelahan.
Saya mengingat semua latihan yang telah saya lalui dan memutuskan untuk tidak menyerah. Langkah demi langkah, saya menaklukkan tanjakan itu dengan tekad yang kuat.
Momen Menuju Garis Finish
Setelah melewati tanjakan cinta, rasa lega mulai muncul. Kilometer terakhir terasa seperti hadiah atas semua perjuangan sebelumnya. Garis finish di depan Candi Borobudur tampak semakin dekat, dan saya mempercepat langkah, memastikan saya menyelesaikan lomba dengan senyum.
Meski tidak mencetak personal best, saya tetap merasa bangga. Saya berhasil menyelesaikan Borobudur Marathon tanpa cedera, menikmati setiap momen sepanjang rute, dan membuktikan bahwa kerja keras selama 14 minggu tidak sia-sia.
Refleksi: Lebih dari Sekadar Lari
Borobudur Marathon bukan hanya tentang berlari sejauh 21 kilometer, tetapi juga tentang perjalanan personal, pembelajaran, dan apresiasi terhadap budaya serta dukungan komunitas. Perjalanan ini mengajarkan saya tentang pentingnya konsistensi, ketekunan, dan menikmati proses.
Saya menyadari bahwa setiap pelari memiliki cerita unik di balik langkah-langkahnya. Bagi saya, Borobudur Marathon adalah kisah tentang keberanian untuk menantang diri sendiri, menikmati perjalanan, dan merayakan pencapaian, besar maupun kecil.
Dengan rasa syukur yang mendalam, saya melangkah meninggalkan garis finish dengan satu tekad: terus berlari, menjelajahi batas baru, dan menantang diri di event-event berikutnya. Borobudur Marathon 2024 akan selalu menjadi kenangan yang membekas di hati, sebuah pengalaman yang membuktikan bahwa batasan hanya ada dalam pikiran kita.
See you next even !!!